Kant
memberi pendahuluan dengan pernyataan bahwa pengetahuan dimulai dari
pengalaman, namun tidak berarti bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman. Pertanyaan Kant adalah apakah ada pengetahuan yang bebas dari pengalaman
indra manusia. Menurutnya, a priori adalah “is absolutely so of all experience,
pure knowledge.” Sedangkan a posteriori berasal dari pengamatan dan pengalaman,
dan berasal dari metode induksi. Kebenaran a priori dibagi dua, yaitu judgment
a priori, yaitu sebuah kebenaran apabila kita memiliki sebuah proposisi yang
mengandung ide kepentingan dalam konsepsinya; sementara itu absolut a priori
adalah kebenaran yang tidak datang dari proposisi apapun.
Kant
berusaha membela pendapatnya ini dari Hume, yang memang beranggapan bahwa semua
pengetahuan berasal dari a posteriori. Argument Kant adalah bahwa ada
pengetahuan yang memang sudah ada a priori tanpa kita perlu mengamati untuk
mengetahui bahwa pengetahuan itu adalah benar.
Pertanyaan
selanjutnya adalah, Bagaimana pengetahuan kita bisa sampai kepada pengertian a
priori ini, dan sejauh apa kebenaran yang dimilikinya (5)? Kant menganggap
bahwa pengetahuan a posteriori adalah keinginan manusia untuk merasa nyaman
dalam pengetahuan yang mereka bisa selidiki dan pahami. Manusia takut untuk
bertanya dan menjawab kontradiksi yang tidak bisa mereka buktikan secara
empiris.
Menggunakan
teori gua Plato, Kant mengungkapkan bahwa pengetahuan sesungguhnya berada di
luar indra perasa manusia yang terbatas. Semua pengetahuan kita sebenarnya
sudah ada tanpa harus melalui pengalaman, justru pengamatan hanya akan
mendistorsi atau menguatkan pengetahuan yang sudah kita miliki sebelumnya.
Kant
kemudian membedakan antara penilaian analitis dan sintetis. Penilaian analitis
adalah mereka yang predikat dan subjeknya dihubungkan oleh identitas misalnya
"semua tubuh itu berat”; sementara ketika predikat dan subjek dihubungkan
tanpa identitas dia disebut sebagai penilaian sintetis, misalnya “semua tubuh
akan bertumbuh”. Penilaian sintetis bisa diperoleh tanpa pengamatan dan sudah
ada secara a priori.
Dengan
pemahaman ini, Kant lebih jauh berargumen bahwa dalam semua ilmu sains,
pengetahuan a priori adalah prinsip dasar dalam menentukan langkah selanjutnya.
Dia menunjukkannya dalam bidang matematika, fisika, dan metafisika. Semua hasil
matematika adalah pengetahuan a priori, yang kemudian diamati dan dibuatkan
langkah menuju pengetahuan itu. Kant memberi dua contoh: misalnya “7+5 = 12”,
dan “garis lurus antara dua titik adalah jarak terpendek antara keduanya.”
Kedua pengetahuan ini kita ketahui tanpa menyelidikinya. Penelitian lebih
lanjut hanya membantu kita memastikan pengetahuan ini. Meskipun ada beberapa
perhitungan matematis yang muncul dari pengetahuan analitis, kita hanya bisa
membuktikannya melalui pengamatan sesudah kita menerima rumus tersebut secara a
priori. Dalam fisika, banyak rumus dan presuposisi yang diberikan berasal dari
pengetahuan a priori, dan demikian juga dalam metafisika.
Pertanyaan
penting selanjutnya adalah, bagaimana pengetahuan sintetis secara a priori
adalah mungkin? Di sini Kant mengkritik Hume yang menurutnya tidak pernah
sampai kepada ilmu yang murni. Menurut Hume, ilmu metafisika, di mana semua hal
memiliki akibat terhadap yang lain, adalah sebuah pemikiran yang tidak
rasional. Menurut Hume metafisika muncul dari nalar atau pemikiran yang
berlebihan yang muncul dari pengalaman namun diberi penjelasan seolah-olah dia
berasal dari logika.
Kant
berhasil menunjukkan perbedaan antara a priori dan a posteriori dan
mempertahankan pentingnya pengetahuan a priori. Di bab awal ini Kant memberikan
garis besar mengenai apa yang dia mau tulis dalam bukunya. Satu hal yang
penting untuk dicatat dalam membaca Kant lebih lanjut adalah bahwa Critique of
Pure Reason bukanlah kritik terhadap penalaran murni, melainkan untuk
memperlihatkan bahwa nalar murni adalah pengetahuan tertinggi yang bisa kita
peroleh a priori. Critique of Pure Reason juga menunjukkan bahwa nalar juga
memiliki batasan, dan tugas pengetahuan empiris adalah membuktikan dan
menjelaskan pengetahuan kita itu agar dia tidak jatuh menjadi dogma semata.
Pada saat yang sama Kant menjelaskan batasan dunia empiris dan juga batasan
dunia metafisika.
Kant
berhasil membedakan pengetahuan sintetis dan a priori dari analitis dan a
posteriori. Dia memberi 4 definisi yang berbeda. Karena hanya kebenaran a
priori yang bersifat universal, seperti dalam ruang dan waktu, maka kebenaran
sejati pastilah a priori. Pengertian semacam ini memberi argumen terhadap
kebenaran a priori. Karena keterbatasan indra kita, maka tugas pengetahuan
empiris adalah menjelaskan keterbatasan metafisika kita. Kedua hal ini
sebenarnya saling terkait.
Menurut
saya, Kant sebenarnya tidak pernah ingin menolak pengetahuan yang kita peroleh
melalui pengamatan empiris, dia hanya ingin menunjukkan bahwa pengetahuan
empiris saja tidak cukup untuk sampai kepada pengetahuan murni. Kenyataan
adalah gabungan dari kedua pengetahuan a priori dan a posteriori, antara
sintetis dan analitis.
Kant
sebenarnya sudah sangat maju dalam pemikirannya, bahwa menurutnya, pikiran kita
tidak hanya menerima objek yang ada di sekitar kita, tetapi pikiran kita justru
aktif memberi makna terhadapnya. Pengertian yang sesungguhnya dari suatu objek
bisa terdistorsi oleh indra perasa kita sehingga kita tidak akan bisa sampai
kepada pengertian yang sesungguhnya melalui pengamatan saja. Pengetahuan
empiris adalah seperti pelengkap ke dalam dunia pengetahuan a priori yang sudah
lebih dulu ada.
Melalui
analisisnya, Kant berhasil menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam matematika justru
berasal dari pengetahuan a priori. Namun pengetahuan a priori ini tidak bisa
murni kita terima seperti yang kita harapkan. Instrumen perasa dan nalar kita
yang terbatas membuat kita membutuhkan keduanya penguji pengetahuan a priori
dan analitis.Ada yang mengkritik Kant dengan mengatakan bahwa Kant tidak pernah
menjelaskan matematika dari sisi empiris. Ketika Kant menjelaskan matematika
dari nalar, maka dia akan menemukannya secara a priori, sementara matematika
adalah pengetahuan yang membutuhkan pembenaran secara analitis, tanpanya kita
tidak tahu apakah pengetahuan a priori itu benar atau tidak.
Salah
satu kritik yang hendak saya ajukan adalah prinsip Kant yang memandang ruang
dan waktu sebagai tak terhingga dan hanya satu. Berbagai teori baru dalam dunia
fisika sepertinya menunjukkan bahwa di balik ruang yang kita tempati sekarang,
ada ruang lain yang juga berjalan pada waktu bersamaan. Teori ini tetap masih
harus dibuktikan. Ada juga teori lain yang berargumen bahwa pada waktu yang
sama, ada waktu lain yang berjalan beriringan, dan ada jumlah waktu yang tak
terbatas yang berjalan beriringan tanpa memengaruhi satu dengan yang lain. Hal
ini juga masih harus terus diuji melalui penemuan baru di bidang sains.